Tata berarti menata atau mengatur,wana berarti hutan jadi tata wana nempunyai arti menata / mengatur kawasan hutan dan merisalah isinya.
Tau Taa Wana yang dimaksud dalam tulisan ini adalah komunitas yang oleh
pihak luar --- termasuk pemerintah maupun peneliti --- lebih mengenalnya dengan
sebutan To Wana atau Suku Wana. Dikatakan sebagai sebutan pihak luar, karena kata
wana tidak dikenal dalam kosa kata bahasa mereka. Kecuali itu, mereka sendiri lebih
suka mengidentifikasi diri sebagai Tau Taa sesuai bahasa mereka, bahasa Taa.
Untuk tidak menafikan cara mereka mengidentifikasi diri sendiri sebagai “Tau
Taa” sekaligus mengakomodir sebutan “To Wana” dari pihak luar yang sudah terlanjur
populer, maka tulisan ini akan menggunakan sebutan “Tau Taa Wana”. Penggunaan
sebutan “Tau Taa Wana” juga dimaksudkan untuk membedakannya dengan “Topo Taa”
komunitas pengguna bahasa Taa yang tinggal di pesisir.
Seperti halnya komunitas suku pedalaman (masyarakat adat) lain di Indonesia,
Tau Taa Wana acapkali diasumsikan sebagai perambah hutan tropik (paru-paru dunia)
dan pemburu liar yang menjadi penyebab utama hancurnya hutan dan keanekaragaman
hayati, meskipun belum ada penelitian yang membuktikan asumsi tersebut secara
meyakinkan (Primack, 1998: 285-288). Label keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan,
serta manusia-manusia liar, juga merupakan penilaian umum yang ditujukan kepada
mereka, baik oleh pemerintah maupun masyarakat dominan.
Asumsi dan penilaian ini kemudian menjadi alat legitimasi untuk mengeluarkan
komunitas suku pedalaman dari kawasan hutan konservasi atau memframing mereka ke
dalam kehidupan normal serta politik kewargaan versi negara: hidup men-desa di bawah
kontrol camat dan kepala desa, serta harus menganut agama-agama yang diakui oleh
Negara. (Budiman, ed,: 2005). Namun dalam banyak kasus, praktek semacam itu ternyata
mendapatkan resistensi (pembangkangan) keras dari komunitas suku pedalaman
Dalam konteks Tau Taa Wana, kutipan artikel berikut mungkin dapat menegaskan
adanya ketegangan hubungan tersebut: “pada 2001 kepala suku Wana bernama Tandao
mengumumkan maklumat: tare pamarenta, tare agama dan tare kampung. Mereka
menolak pemerintah, agama dan perkampungan” (Tempo, 10 Agustus 2003, hlm 70).
Penolakan tersebut menurut Tempo, tidak lepas dari trauma dan pengalaman buruk masa
lalu yang sulit dilupakan.
0 komentar:
Post a Comment